Mendahulukan kelekatan emosional, mendampingi dengan empati, dan memberi ruang untuk eksplorasi, itulah esensi dari elephant parenting. Foto: Freepik
Elephant parenting bukan sekadar tren, melainkan refleksi dari paradigma baru dalam dunia pengasuhan yang mengutamakan emosi, hubungan, dan pertumbuhan karakter anak secara menyeluruh. Gaya ini sangat relevan di tengah masyarakat modern yang menuntut keseimbangan antara prestasi dan kesejahteraan psikologis.
Dalam dunia pengasuhan modern, istilah-istilah seperti helicopter parenting dan tiger parenting sudah banyak dikenal. Namun, munculnya pendekatan baru bernama elephant parenting mengundang perhatian karena menawarkan keseimbangan antara kelekatan emosional, perlindungan, dan kemandirian anak. Pendekatan ini kini semakin relevan, terutama bagi orang tua generasi baru yang ingin mendidik anak secara emotionally intelligent dan resilien menghadapi tantangan hidup.
Diperkenalkan oleh jurnalis, Priyanka Sharma-Sindhar melalui esainya di The Atlantic, elephant parenting menjadi respon terhadap gaya pengasuhan yang terlalu kompetitif atau terlalu permisif. Alih-alih fokus pada capaian atau disiplin ketat, gaya ini menekankan pada koneksi emosional, empati, dan adaptasi terhadap kebutuhan anak.
Esensi Elephant Parenting
Dilansir dari
Parents, pemahaman soal
Elephant Parenting berbeda dengan orang tua "
tiger" yang menuntut keberhasilan anak, atau orang tua "helikopter" yang selalu mengawasi, orang tua "gajah" memilih menjadi penjaga mental anak dengan pendekatan kelekatan emosional. Mereka lebih suka memberikan rasa aman pada anak, membangun kedekatan yang kuat sejak dini, dan menjadi tempat pulang yang nyaman setelah anak mengeksplorasi dunia luar.
Menurut
Dr. Tokunbo Akande, seorang integratif pediatris, “Elephant parenting bukan berarti memanjakan, melainkan membangun dasar yang kuat agar anak bisa tumbuh percaya diri dan berani mengambil risiko secara sehat.”
7 Ciri-Ciri Orang Tua "Gajah"
1. Selalu Menyapa Emosi Anak
Elephant parent cenderung menanyakan perasaan anak secara aktif—“Bagaimana perasaanmu hari ini?”—dan bukan sekadar menilai dari perilaku atau hasil akhir saja. Ketika anak mendapat nilai buruk, mereka akan bertanya bagaimana perasaan anak, bukan langsung menunjukkan kekecewaan. Ini adalah strategi validasi emosional yang mendorong anak memahami dan menerima emosinya.
2. Memberi Anak Ruang untuk Memimpin
Baik dalam bermain maupun saat makan malam, anak diberikan ruang untuk memimpin percakapan atau memilih aktivitas harian. Orang tua gajah percaya bahwa anak akan berkembang optimal bila diberikan kesempatan mengambil keputusan, selama tetap dalam batas aman.
3. Menahan Diri untuk Tidak Langsung Menyelamatkan
Mereka memahami pentingnya kemandirian dan
problem solving. Saat anak mengalami konflik kecil atau frustrasi, mereka tidak serta-merta turun tangan, tapi hadir untuk membimbing secara bertahap. “Cinta bukan berarti menyelesaikan segalanya untuk anak, tapi mendampinginya dalam proses belajar dari kesalahan,” ujar Akande.
4. Mendorong Eksplorasi, Bukan Menghindari Risiko
Seorang
elephant parent akan mengizinkan anaknya mencoba hal menantang seperti naik seluncuran tinggi, dengan catatan tetap mengawasi dan memberi panduan. Risiko kecil dianggap bagian penting dalam proses tumbuh, bukan sesuatu yang harus selalu dihindari.
5. Mendukung Tidur Bersama saat Anak Butuh Kenyamanan
Ketika anak mengalami mimpi buruk, orang tua gajah akan cenderung mengizinkan anak tidur bersama daripada memaksanya untuk tidur sendiri. Bagi mereka, kenyamanan emosional lebih utama daripada disiplin kaku, terutama di usia dini.
6. Mengizinkan Anak Keluar dari Aktivitas yang Tidak Disukai
Jika anak kehilangan minat pada hobi atau olahraga tertentu, orang tua gajah tidak memaksakan untuk melanjutkannya demi ambisi pribadi. Mereka akan mendorong anak mengeksplorasi minat secara alami dan menghargai kebutuhan anak untuk mengatakan "tidak".
7. Menjadi Pendengar Saat Anak Mengalami Konflik Sosial
Saat anak bertengkar dengan teman,
elephant parent lebih memilih mendengarkan perasaan anak dan membantu mereka menemukan solusi, daripada langsung mengintervensi.
Scaffolding emosional menjadi pendekatan utama, yakni dengan mendukung tanpa mengambil alih.
Mencetak Anak Resilien Melalui Empati
Dr. Janine Domingues, psikolog dari
Child Mind Institute, menyebut
elephant parenting sebagai upaya membangun
secure attachment yang tahan terhadap tekanan eksternal. “Anak perlu mengalami kebosanan, stres, dan tantangan—semua itu penting untuk tumbuh. Tapi dengan kehadiran dan empati orang tua, mereka belajar untuk mengelola dan bertahan.”
Bagi para pemimpin organisasi maupun CEO yang terbiasa dengan target dan efisiensi, gaya pengasuhan ini mungkin terasa "lembut". Namun dalam jangka panjang,
elephant parenting menghasilkan anak yang memiliki kepercayaan diri, empati tinggi, dan kemampuan adaptif, yang sangat dibutuhkan di era penuh disrupsi seperti sekarang.
Nah, bagaimana nih Bunda/ Ayah, tertarik menerapkan
Elephant Parenting?
Baca juga:
Sudah Siap Jadi Orang Tua Generasi Beta? Simak 5 Tip Pengasuhan Berikut Ini!
10 Langkah Menjalankan Positive Parenting, Tren Pengasuhan Masa Kini
4 Tip Pengasuhan yang Tak Lekang oleh Zaman